Saat anggota keluarga atau teman kita mengalami suatu musibah, lalu disarankan untuk selalu melihat sisi positifnya, ternyata hal ini justru berdampak buruk bagi kesehatan mentalnya.

Kamu tentu pernah menemui istilah “positive vibes” di berbagai sosial media yang berarti seseorang dikelilingi aura atau energi positif dari lingkungkan sekitar atau justru ia yang menyebarkan aura positif itu. Fenomena sosial ini sering digunakan untuk memotivasi diri sendiri maupun orang lain untuk mengelola pikiran agar tetap berpikir positif dan mengurangi overthinking.
Namun, tahukah kamu bahwa tidak selamanya pemikiran yang selalu positif itu memberikan dampak yang baik, khususnya pada kesehatan mental loo? Artikel kali ini akan membahas tentang “sisi gelap” dari tren “positive vibes” yang harus kamu ketahui dampaknya untuk kesehatan mentalmu.
Mengenal Toxic Positivity
Pemikiran positif yang berlebihan dapat mengarah pada “toxic positivity” yaitu saat seseorang dipaksa untuk selalu melihat sisi positif dan mengabaikan serta menolak emosi negatif dari kejadian apapun, khususnya pengalaman menyedihkan. Dengan tidak mengakui bahwa ia sedang merasakan hal yang tidak nyaman/ marah/ sedih/ takut/ dan perasaan lainnya, seseorang akan selalu berpura-pura bahagia di depan orang lain dan menyangkal emosi dasarnya sebagai manusia.
Kalimat seperti “syukuri saja”, “jangan menyerah ya”, “be positive”, dan lain-lain justru menyarankan seseorang yang sedang mengalami musibah untuk tidak meluapkan emosi negatifnya. Dikutip dari dr. Jiemi Ardan, Psikiatri di RS Muwardi Solo, “toxic positivity” akan menyebabkan seseorang untuk terus menerus memendam emosi negatifnya dan tentu akan memicu kecemasan, depresi, stres, dan gangguan psikis lainnya, kemudian merambat pada fisik seseorang tersebut (Tirto: 2019).
Jangan Beri Nasehat atau Motivasi Positif, Lebih Baik Lakukan Ini
Oleh sebab itu, daripada langsung memberikan kata-kata penyemangat atau nasehat untuk keluarga atau temanmu yang sedang mengalami musibah, lebih tepat kamu menggali alasan ia merasakan emosi negatif. Dengarkan ceritanya terlebih dahulu sampai habis, biarkan dia meluapkan emosi yang dirasakannya, dan terima dia sebagai manusia biasa yang memiliki emosi positif dan negatif.
Jangan terburu-buru memberi nasehat positif agar keluarga atau temanmu dapat bersikap jujur terhadap permasalahan yang ia alami sehingga selanjutnya dapat menerima realita kehidupannya.
Baca juga tips menjaga kesehatan mentalmu disini
Penulis: Dian
Referensi: Tirto (2019)
The Psychology Group
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)